Hukum merupakan suatu kata yang selalu disebut tiap kali kita mendengarkan atau menonton suatu siaran media massa. Istilah yang berasal dari bahasa Arab huk’mun yang artinya “menetapkan” ini dapat diartikan sebagai norma yang menetapkan petunjuk tingkah laku.
Hukum merupakan suatu norma yang berlaku dimanapun seseorang tersebut berada. Dengan hukum, suatu negara dapat mempertahankan keadaan negaranya. Hukum menetapkan segala hal yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, dilarang atau harus dilaksanakan.
Manusia hidup tidak bisa lepas dari hukum. Hukum dapat menjamin keselamatan dan kesejahteraan seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, hukum dapat pula disebut sebagai aturan atau peraturan. Aturan ini menjadi norma, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
Pengertian Hukum
Sekilas, pengertian hukum memang dapat disimpulkan dengan mudah, tapi berbagai pertanyaan mengenai “apa sebenarnya hukum itu” pasti akan berkelebatan di kepala setiap orang yang mulai mempelajari Ilmu Hukum.
Prof. Mr. L.J. van Apeldorn berpendapat dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht (diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, SH dengan judul “Pengantar Ilmu Hukum”), bahwa tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang disebut hukum itu.
Meski begitu, Van Doorn, sosiolog hukum Belanda, menyatakan bahwa hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri cenderung terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya. Ini disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang memengaruhi dan membentuk perilakunya.
Di dalam buku yang berjudul “Panduan Bantuan Hukum di Indonesia” yang diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), disebutkan bahwa terdapat empat aliran berpikir yang cukup berpengaruh dalam pemikiran hukum, diantaranya yaitu:
1. Aliran Hukum Alam atau Hukum Kodrat
Hukum Kodrat merupakan hukum tertinggi atau yang utama, yang darinya Hukum Positif berasal. Hukum Kodrat berasal dari perintah Tuhan yang ditanamkan dalam diri manusia sejak penciptaannya. Hukum Kodrat berlaku di mana saja dan kapan saja (bersifat universal).
Hukum Kodrat tidak bisa dilepaskan dari akal budi dan keadilan. Hukum Kodrat, yang memuat perintah dan larangan, bersumber dari akal budi. Dengan demikian, Hukum Kodrat merupakan perintah akal budi. Bahkan terkadang disimpulakan bahwa Hukum Kodrat tidak lain adalah akal budi itu sendiri.
2. Aliran Positivisme Hukum
Aliran Positivisme Hukum berpendapat bahwa hukum yang utama adalah hukum yang berasal atau diciptakan oleh manusia, yakni Hukum Positif.
Latar belakang pemikiran aliran positivisme hukum adalah pengutamaan manusia dan rasionya, sekaligus upaya untuk membebaskan manusia dari dominasi penjelasan yang mengedapankan ajaran-ajaran ke-Tuhanan.
Hukum Positif tidak berlaku universal, melainkan menunjuk pada tempat dan waktu tertentu. Misalnya Hukum Positif yang berlaku di Indonesia selama periode pemerintahan Orde Baru.
Dalam perkembangannya, setealah manusia membentuk organisasi negara, Hukum Positif yang dimaksud adalah hukum yang dibuat oleh badan-badan negara dan pemerintah.
Dengan demikian, bagi aliran ini, hukum diartikan sebagai perintah atau larangan yang dibuat oleh lembaga-lembaga atau badan-badan negara dan pemerintah yang pemberlakuannya dapat dipaksakan.
3. Aliran Sejarah Hukum atau Hukum Historis
Aliran Sejarah Hukum menilai bahwa hukum tidak dapat dibuat melainkan ditemukan. Masyarakat telah mengembangkan aturan main dalam pergaulan sosial dan aturan main tersebut merupakan hukum.
Oleh karena itu, menghasilkan hukum bukan dengan cara membuatnya dengan mengandalkan lembaga-lembaga artau badan-badan negara dan pemerintah, melainkan mencari dan menemukannya di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat yang melangsungkan pergaulan sosial pasti memiliki hukum karena pada dasarnya hukum adalah ungkapan jiwa bangsa.
4. Aliran Sosiologi Hukum
Pemikiran lain datang dari aliran Sosiologi Hukum yang mempercayai bahwa hukum yang berlaku dalam satu wilayah atau tempat tertentu tidaklah seragam atau tunggal. Selain hukum yang dibuat oleh badan-badan atau lembaga-lembaga negara, pada wilayah dan waktu tertentu berlaku juga hukum lain yang dihasilkan oleh komunitas lokal.
Misalnya, selain hukum negara ada juga hukum agama, hukum adat, dan kebiasaan. Jadi, dengan demikian, hukum bukan lagi norma yang hanya berasal dari negara, tapi juga yang berasal dari institusi agama dan masyarakat sendiri.
Namun, sekalipun memiliki aliran berpikir yang berbeda, ke-4 aliran tersebut tetap memandang hukum sebagai norma yang menetapkan apa yang sudah seharusnya dilakukan (das sollen). Semuanya sama-sama menetapkan hukum sebagai petunjuk bagaimana manusia seharusnya bertingkah laku dengan menetapkan larangan, suruhan dan perintah.
Unsur-unsur Hukum
Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum meliputi beberapa unsur, yaitu:
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c. Peraturan itu bersifat memaksa
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas
Ciri-ciri Hukum
Untuk dapat mengenal hukum, kita harus dapat mengenal ciri-ciri hukum, yaitu:
a. Adanya perintah dan/atau larangan
b. Perintah dan/atau larangan itu harus ditaati setiap orang
Tujuan Hukum
Keanekaragaman hubungan antara anggota masyarakat adalah hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan-kepentingan anggota masyarakat itu. Dalam keanekaragaman hubungan tersebut, para anggota masyarakat memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat.
Demi menjamin kelangsungan keseimbangan dalam hubungan antar anggota masyarakat tersebut, diperlukan aturan-aturan hukum yang diadakan atas kehendak dan kesadaran tiap-tiap anggota masyarakat itu.
Peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masayarakat untuk patuh menaatinya, menyebabkan terdapatnya keseimbangan dalam tiap hubungan dalam masyarakat. Setiap hubungan kemasyarakatan tak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Setiap pelanggar hukum yang ada, akan dikenakan sanksi berupa hukuman sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan. Selain itu, peraturan tersebut juga harus dijaga dan berlangsung terus dan diterima oleh masyarakat dan tidak boleh bertentangan dengan azas-azas keadilan dari masyarakat tersebut.
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa hukum itu bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu azas-azas keadilan dari masyarakat tersebut.
Berkenaan dengan tujuan hukum, kita mengenal beberapa pendapat sarjana ilmu hukum yang diantaranya sebagai berikut:
1. PROF. SUBEKTI, S.H.
Prof. Subekti, S.H. mengatakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya adalah: mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya (dikutip dari buku yang berjudul “Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan”).
Prof. Subekti S.H berpendapat bahwa hukum melayani tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan “keadilan” dan “ketertiban”, syarat-syarat pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan.
Keadilan yang selalu mendatangkan unsur penghargaan, penilaian atau pertimbangan, lazim dilambangkan sebagai “neraca keadilan”. Dikatakan pula bahwa keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama, setiap orang harus menerima bagian yang sama pula.
Prof. Subekti S.H juga berpendapat bahwa keadilan berasal dari Tuhan Yang maha Esa. Namun, seseorang diberi kecakapan atau kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan yang dinamakan adil. Dan segala kejadian di alam dunia ini pun sudah semestinya menumbuhkan dasar-dasar keadilan itu pada manusia.
2. PROF. MR. DR. L.J. VAN APELDOORN
Di dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht” (diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, SH dengan judul “Pengantar Ilmu Hukum”), Prof. van Apeldoorn mengatakan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan manusia secara damai karena hukum menghendaki perdamaian.
Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda pihak yang merugikannya.
Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan kepentingan golongan-golongan manusia. Pertentangan kepentingan ini dapat menjadi pertikaian bahkan dapat menjelma menjadi peperangan, seandainya hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan kedamaian.
Dalam “Rhetorica”, Aristoteles membedakan 2 macam keadilan, yaitu keadilan “distributive” dan keadilan “komutatif”. Keadilan distributive adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya (pembagian menurut haknya masing-masing), bukan dibagi sama banyak menurut persamaan.
Sementara itu, keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak melihat jasa-jasa perorangan. Keadilan ini memegang peranan dalam tukar-menukar; pada pertukaran barang-barang dan jasa-jasa yang sedapat mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan.
Keadilan komutatif lebih menguasai hubungan antara perseorangan khusus, sedangkan keadilan distributif terutama menguasai hubungan antara masyarakat (khususnya negara) dengan perseorangan khusus.
3. TEORI ETIS
Sebuah teori mengajarkan bahwa hukuman itu semata-mata menghendaki keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut dinamakan teori etis, karena menurut teori-teori itu, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Teori ini dianggap prof. van Apeldoorn terlalu berat sebelah karena melebihkan kadar keadilan hukum. Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk orang-orang dalam pergaulan masyarakat. Jika hukum semata menghendaki keadilan, maka ia tak dapat membentuk peraturan-peraturan umum.
Dengan demikian, hukum harus menentukan peraturan umum dan harus menyamaratakan. Padahal, keadilan melarang menyamaratakan; keadilan menuntut supaya setiap perkara harus ditimbang sendiri.
4. BENTHAM (TEORI UTILITIS)
Dalam bukunya yang berjudul “Introduction to the morals and legislation”, Jeremy Bentham berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.
Dan karena apa yang berfaedah kepada orang yang satu mungkin merugikan orang lain, maka menurut teori utilitis, tujuan hukum adalah menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada sebanyak mungkin orang. Kepastian hukum pada perseorang merupakan tujuan dari hukum.
Meski begitu, dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de Rechtwetenschap in Nederland”, Mr. J.H.P. Beefroind mengatakan bahwa isi hukum harus ditentukan menurut 2 azas, yaitu azas keadilan dan faedah.
5. PROF. MR. J. VAN KAN
Prof. Van Kan menyebutkan dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de Rechtwetenschap” bahwa terdapat kaidah-kaidah agama, kaidah-kaidah kesusilaan, kaidah-kaidah kesopanan, yang semuanya bersama-sama ikut berusaha dalam penyelenggaraan dan perlindungan kepentingan-kepentingan orang dalam bermasyarakat.
Prof. van Kan juga mengatakan bahwa hukum bertujuan untuk menjaga kepentingan tiap-tiap manusia suapaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu.
Sehingga jelas disini bahwa hukum mempunya tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu, disebut pula hukum dapat menjaga dan mencegah agar seseorang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri, tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap dirinya. Namun, harus diselesaikan melalui proses pengadilan, dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.